PusatDapodik
Home oot Isi Perjanjian Salatiga : Latar Belakang, Isi, Pasca dan Dampak Perjanjian Salatiga

Isi Perjanjian Salatiga : Latar Belakang, Isi, Pasca dan Dampak Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga

Isi Perjanjian Salatiga – Ada berbagai perjanjian sejarah yang ada di Indonesia, salah satunya adalah perjanjian Salatiga. Mengapa Perjanjian Salatiga bisa terjadi? Apa isi Perjanjian Salatiga? Agar lebih memahaminya, kali ini kita akan membahas tentang sejarah perjanjian Salatiga mulai dari latar belakang, pelaksanaan, isi, akibat dan dampak perjanjian Salatiga secara lengkap.

Baca juga : Perjanjian Jepara

Isi

bersembunyi

1
Memahami Perjanjian Salatiga

2
Latar Belakang Perjanjian Salatiga

3
Menuju Implementasi Perjanjian Salatiga

4
Isi Perjanjian Salatiga

5
Pasca Perjanjian Salatiga

6
Dampak Perjanjian Salatiga

Memahami Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga merupakan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini merupakan penyelesaian dari serangkaian konflik perebutan kekuasaan yang berakhir


Dengan berat hati, Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kendali Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Paku Buwono III, VOC dan Sultan Hamengku Buwono I di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No.1 Kota Salatiga. Lokasi perjanjian dipilih di wilayah Salatiga yang merupakan wilayah netral dan terletak di tengah-tengah wilayah ketiga pihak yang berkonflik.


Gedung Pakuwon tempat penandatanganan perjanjian masih berdiri dan akan digunakan sebagai Kantor Walikota di Salatiga. Tujuan dari perjanjian Salatiga adalah untuk menyelesaikan konflik pasca kekuasaan yang turut menyebabkan berakhirnya sejarah Kesultanan Mataram Islam, yang kehancurannya dimulai sejak berakhirnya masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1645.

Sejak wafatnya Sultan Agung, Mataram menjadi tempat konflik kekuasaan para bangsawan yang masih tergabung dalam Dinasti Mataram. Perjanjian Salatiga didasarkan pada sejarah Perjanjian Giyanti yang dipecah menjadi dua oleh Kerajaan Mataram pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti menandai berakhirnya Mataram sebagai pemerintahan kerajaan yang merdeka.


Meski perjanjian tersebut mampu meredam konflik di dalam pemerintahan, namun dampaknya membuat Mataram terbelah dua. Separuh wilayah bekas Kesultanan Mataram Islam berada di bawah kekuasaan Sunan Pakubuwono III, sedangkan separuhnya lagi diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja Kesultanan Yogya dengan gelar Hamengkubuwono I.

Baca juga : Perjanjian Linggarjati

Latar Belakang Perjanjian Salatiga

Ada satu orang yang dikecualikan dari pemekaran dua wilayah Mataram, yakni Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said dipanggil Pangeran Sambernyawa karena ia selalu membunuh musuh-musuhnya dalam setiap pertempuran. Ia sebenarnya masih berkerabat dengan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I karena merupakan keturunan Amangkurat IV (1719 – 1726), raja keempat Kasunanan Kartasura yang merupakan kelanjutan Kerajaan Islam Mataram. Raden Mas Said menjadi duri bagi Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I serta bagi VOC. Ia berperang melawan Belanda dan Mataram atau Kartasura sejak tahun 1741, awalnya bersama Pangeran Mangkubumi yang mempunyai tujuan yang sama.

Sayangnya Mangkubumi kemudian berbalik melawan Raden Mas Said dan menyetujui Pakubuwono III dan VOC dalam perjanjian Giyanti. Perjanjian tersebut akan memecah belah penduduk Mataram dan akan ditolak oleh Raden Mas Said. Karena itu, dia akhirnya menghadapi ketiga pihak dalam pemberontakannya. Saat VOC mengusulkan penyerahan diri kepada salah satu dari dua raja tersebut, Pangeran Sambernyawa malah menekankan pembagian kekuasaan teritorial menjadi tiga.

Meskipun VOC ingin mengamankan sumber daya keuangan dan kedudukannya di Jawa, perang tersebut tidak menghasilkan pihak yang lebih unggul. Ketiga pihak tersebut tidak dapat mengalahkan Pangeran Sambernyawa dan sang pangeran sendiri tidak dapat mengalahkan ketiganya sekaligus.

Solusi untuk mengakhiri perang melawan Jawa adalah perjanjian Salatiga. Surakarta dan Yogyakarta menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah Ngawen di Yogyakarta dan sebagian wilayah Surakarta menjadi wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyawa. Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta dengan 4.000 tanaman yang meliputi wilayah Wonogiri dan Karanganyar. Namanya Mangkunegara I dan ia hanya berhak menyandang gelar pangeran adipati karena wilayahnya hanya disebut sebagai kadipaten dan ia tidak berhak menyandang gelar Sunan maupun Sultan.

Pada dasarnya Perjanjian Salatiga merupakan tanda terbentuknya negara Mangkunegaran yang dikuasai oleh Raden Mas Said sebagai pangeran otonom yang juga menguasai daerah otonom tersebut, karena pada awalnya ia setuju menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta, menolak dan mendirikan daerah otonomnya sendiri yaitu Kadipaten Mangkunegaran.

Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa konon merupakan penerus silsilah kerajaan Mataram lama dan sejarah kerajaan Mataram lama yang hilang melalui perjanjian Giyanti. Negeri Mangkunegaran membangun kembali Mataram yang terpencar dengan menghidupkan kembali politik dan budaya Mataram, serta unsur kehidupan kesatria secara turun temurun.

Menuju Implementasi Perjanjian Salatiga

Ketika Pangeran Mangkubumi memulai perundingan perdamaian dengan imbalan separuh kekuasaan Mataram melalui perjanjian Giyanti dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) terus menolak. Mangkubumi, Sunan Paku Buwono III dan VOC. Pangeran Sambernyawa tak mau menyerah pada salah satu atau semuanya. Ketika VOC mengusulkan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa tersebut (Surakarta, Yogyakarta), Pangeran Sambernyawa malah memberikan tekanan kepada ketiganya agar Mataram dipecah menjadi tiga.

VOC ingin keluar dari segala kesulitan untuk mengamankan kantong keuangan dan kehadirannya di Pulau Jawa selama perang tidak menghasilkan pemenang yang lebih unggul dari empat angkatan bersenjata di Pulau Jawa. Iker Pangeran Sambernyawa juga tak mampu mengalahkan ketiganya secara bersamaan.

Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga merupakan solusi situasi untuk mengakhiri perang melawan Jawa. Dengan enggan, Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Sambernyawa.

Baca juga : Perjanjian Roem Royen

Pihak yang menandatangani perjanjian Salatiga adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta dan VOC Kesultanan Yogyakarta yang diwakili oleh Patih Danureja. Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4.000 karya meliputi wilayah Wonogiri dan Karanganyar sekarang untuk menjadi penguasa kadipaten Mangkunegaran di wilayah Yogyakarta dan Ngawen yang bergelar Mangkunegaran I. Penguasa atau Sultan Mangkunegaran tidak mempunyai klaim dan hanya berhak menyandang gelar Pangeran Adipati.

Tempat penandatanganan perjanjian ini kini digunakan sebagai Kantor Walikota Kota Salatiga.

Isi Perjanjian Salatiga

Isi Perjanjian Salatiga menyebabkan Pangeran Sambernyawa menemukan separuh wilayah Surakarta (4.000 karya mencakup beberapa wilayah, termasuk penguasa Wonogiri dan Karanganyar). Namun penguasa di wilayah Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan dan hanya berhak menyandang gelar Pangeran Adipati.

Isi Perjanjian Salatiga termasuk:

Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh empat kelompok yaitu Kesultanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, VOC dan Pangeran Sambernyawa. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 di kota Salatiga.

Isi perjanjian Salatiga terdiri dari Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I yang menyerahkan sebagian wilayah setelah diserahkan kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah ini mencakup separuh wilayah Surakarta (Kabwonogiri).

Pasca Perjanjian Salatiga

Sunan Pakubuwono III meninggal pada tahun 1788 setelah perjanjian Salatiga dan digantikan oleh Pakubuwono IV yang akrab dengan politik, intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah wafatnya Pakubuwono III, Pakubuwono IV memulai strategi politik yang agresif pada musim semi tahun 1790 dengan mengangkat saudaranya Arya Mataram menjadi Pangeran Mangkubumi. Hal ini membuat HB I protes karena meyakini nama Mangkubumi adalah miliknya.

Lebih lanjut, Pakubuwono IV juga memulai intrik dengan menolak pemberian pewaris kepada Putra Mahkota Kesultanan Yogyakarta. Saat itu saya melihat adanya peluang di Mangkunegara dan pada bulan Mei 1790 menulis surat kepada Gubernur Semarang, Yan Greeve, untuk menagih janji dari seorang penduduk Surakarta, Frederik Christoffeel van Straaldorf, yang telah menjanjikan takhta kepada Mangkunegara I jika HB mati.

Perjanjian Salatiga dimaknai sebagai solusi paling mudah untuk mengatasi kisruh di Negeri Mataram yang dapat diuntungkan oleh semua pihak. Meski ketiga pihak sama-sama mendapat bagian wilayah, namun yang paling diuntungkan adalah VOC.

Pada dasarnya semua perjanjian pembagian Mataram merupakan kontrak politik yang dimanfaatkan VOC dalam perselisihan dan perpecahan di kalangan keluarga kerajaan setempat, termasuk Mataram, untuk menguasai seluruh pulau Jawa. Pergerakan ketiga kerajaan ini diawasi oleh Belanda yang juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam masalah internal seperti suksesi dan politik.

Baca juga : Perjanjian Renville

Wilayah ketiga kerajaan tersebut tidak terkena pengaruh VOC, namun seluruh wilayah Jawa bagian barat dan pesisir utara Jawa hingga ujung timur dikuasai VOC. Sementara itu, ketiga kerajaan terlalu sibuk dengan urusan dalam negeri masing-masing sehingga tidak pernah terpikir untuk menyatukan kembali Pulau Jawa seperti yang pernah diupayakan oleh raja sebelumnya.

Boleh dikatakan para penguasa sering kali melibatkan VOC dalam konflik internalnya untuk memberikan peluang bagi VOC untuk melakukan intervensi. Alhasil, Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga memastikan terbaginya kerajaan terbesar di Jawa menjadi tiga bagian.

Penyatuan kekuasaan di Pulau Jawa semakin sulit dengan hadirnya wilayah keempat yaitu Kadipaten Pakualaman pada tanggal 17 Maret 1813 dalam kurun waktu 56 tahun sejak ditandatanganinya Perjanjian Salatiga. Status Pakualaman hampir mirip dengan Mangkunegaran dan merupakan bagian dari Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pakualam I atau Pangeran Notokusumo, salah satu putra Hamengkubuwono I.

Terbaginya wilayah Mataram Islam menjadi empat bagian merupakan akhir dari kejayaan Kerajaan Mataram yang hancur sendirian akibat intrik dan konflik antar anggotanya. Hal ini juga menunjukkan betapa suksesnya Belanda melancarkan kebijakan devide-et-impera atau perpecahan yang membuka jalan bagi mereka untuk menguasai seluruh tanah Jawa, dan betapa mudahnya bangsa kita terjerumus ke dalam perangkap politik memerangi domba-domba yang terjebak, yang berujung pada hingga hancurnya kerajaan terbesar di Pulau Jawa.

Dampak Perjanjian Salatiga

Sepeninggal Pakubuwono III dan digantikan oleh Pakubuwono IV. Pada tahun 1788, kebijakan agresif muncul kembali. Pakubuwono berbagi nama dengan saudaranya Arya Mataram dengan nama Pangeran Mangkubumi. Hal ini memicu protes dari Sultan Hamengkubuwono I yang mempercayai nama tersebut hingga ia meninggal. Gangguan ini kemudian diteruskan ke pemerintah Belanda, namun tidak membuahkan hasil.

Strategi politik Pakubuwono ini dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yaitu penolakan Putra Mahkota Kesultanan Yogyakarta untuk mewarisi. Setelah Mangkunegara kembali memperketat situasi politik, saya berjanji kepada pemerintah Hindia Belanda untuk ikut berjanji jika Pangeran Mangkubumi yang menjadi Hamengkubuwono meninggal. Mangkunegara I diperbolehkan menduduki jabatan Kesultanan Yogyakarta. Pasca pertempuran terjadi di Gunung Kidul, dampaknya tidak lagi memenuhi tuntutan tersebut.

Baca juga : Perjanjian Tantangan

Demikian artikel tentang sejarah perjanjian Salatiga mulai dari latar belakang, pelaksanaan, isi, akibat dan dampak perjanjian Salatiga secara lengkap. Semoga bermanfaat dan jangan lupa ikuti postingan lainnya.

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad