TEKNOLOGI digital kini telah melahirkan era baru ‘perang dingin’ bagi negara adidaya bahkan menentukan menang atau kalah dalam perebutan supremasi global. Teknologi digital di awal abad ke-21 juga telah menjadi elemen strategis kekuatan dan pengaruh setiap perusahaan global dan negara-bangsa.
Misalnya teknologi komputasi kuantum, kecerdasan buatan (AI), atau jaringan koneksi 5G dapat memengaruhi keseimbangan kekuatan negara dalam skala global.
Kita membaca karya profesor hukum Jean Bodin (1530 – 1596) dari Perancis tentang unsur utama ‘kedaulatan’ dalam buku tersebut. Les Six livres de la République (Enam Buku Republik) atau Enam Buku tentang Republik 1576. Isi buku-buku ini, terutama bab 7 dan 10, berbeda dengan Niccolò Machiavelli (3 Mei 1469 – 21 Juni 1527) yang berasal dari Italia dalam buku tersebut De Principatibus (Il Principe) (1513/1532) atau tentang kekuasaan (pangeran), yang melihat ‘kedaulatan’ sebagai hak untuk bertindak demi kebaikan negara tanpa pertimbangan moral; karena kebaikan bersama adalah hukum tertinggi bagi negara.
Bodin melihat kedaulatan untuk kepentingan umum (republik) adalah “la puissance absolue et perpetuelle d’une Républiqueatau kekuatan absolut, tertinggi, abadi, dan tak terpisahkan.
Jadi kedaulatan merupakan unsur bawaan dan menyatu dengan berdirinya negara yang mempersatukan bangsa yang satu guna menjaga kemerdekaan bangsa di dalam negeri dan di luar negeri. Karena itu, pangeran (pemimpin) republik harus bertanggung jawab kepada Tuhan.
Kita membaca sejarah bangsa kita. Para pendiri Indonesia merdeka menjajaki pilihan bentuk pemerintahan republik pada tahun 1945 di Jakarta. Pukul 12.16 WIB tanggal 10 Juli 1945 bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi In (sekarang Pejambon), Jakarta, dibuka Rapat Umum BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tentang Bentuk Negara dan Pemerintahan yang dibuka oleh dokter Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat. Rapat BPUPKI dihadiri oleh 64 anggota.
Secara terbuka, sebanyak sembilan anggota BPUPKI (Kangjeng Raden Tumenggung Wongsonegoro, Wurjaningrat, Ki Bagoes Hadi Koesoemo, Susanto, Pieter Frederik Dahler, Muhammad Yamin, Singgih, Sukardjo Wirjopranoto, dan Sukiman) mendukung bentuk pemerintahan republik untuk Indonesia merdeka.
Pasalnya, republik merupakan bentuk kedaulatan rakyat (suara volks) atau hasil musyawarah para wakil rakyat, bukan secara turun-temurun; republik menghasilkan persatuan; Penyelenggaraan negara adalah kepentingan umum, bukan turun-temurun. Jadi pelaksana kedaulatan negara adalah kedaulatan rakyat.
Mengapa kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi negara? Ketua penyusun UUD 1945, Soekarno mengatakan, rujukan hukum internasional menjadi dasar berdirinya Indonesia merdeka pada 1945, yakni syarat-syarat rakyat (bangsa), tanah air, dan pemerintahan.
Secara geopolitik, menurut Soekarno, bangsa lahir dari kesatuan kekuatan inti rakyat dan bumi yang dipijaknya.
Kini di awal abad ke-21, kesatuan masyarakat di setiap negara bergantung pada jaringan digital, sistem dan sumber daya, serta konvergensi antara infrastruktur fisik dan teknologi digital. Jadi tata kelola kekuasaan suatu negara diwujudkan dalam jaringan teknologi digital dan data digital di ruang siber.
Suatu negara tidak lagi hanya mempersatukan dan menguasai ruang darat, laut, dan udara, tetapi juga ruang siber dan ruang angkasa. Peluang dan tantangan setiap negara-bangsa saat ini dan di masa depan adalah menjaga kedaulatan data digital. Karena arus barang, jasa, uang, informasi, dan sejenisnya di dalam negara dan lintas negara didasarkan pada data digital.
Di sisi lain, infrastruktur digital merupakan tulang punggung dan urat nadi fungsi dunia maya. Misalnya, elemen fisik dunia maya seperti jaringan kabel, komputer, tautan radio, dll. Terletak di ruang fisik suatu negara dan harus mematuhi yurisdiksi hukum fisik dan kedaulatan geografi suatu negara.
Geopolitik Data Digital
Hingga awal abad ke-21, terdapat persaingan digital dari dua model utama, yaitu model Tiongkok (Creemers, 2016, 2020; Jiang, 2010; Zeng et al., 2017) dan Rusia (Budnitsky & Jia, 2018; Stadnik, 2019; Nocetti, 2015 ) versus model Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Untuk menjaga kedaulatan digital dan geopolitik digital, China meluncurkan strategi ‘Made in China 2025’, yaitu program China untuk memproduksi komponen kunci teknologi digital, seperti robotika, TIK, pembangkit energi terbarukanpenerbangan atau industri penerbangan.
Tujuan dari program Made in China 2025 adalah untuk mencegah atau mensterilkan ‘intervensi’ pihak lain melalui teknologi ke dalam jaringan pasar global, politik dalam negeri, kehidupan sosial dan ekonomi warga sehari-hari di China.