pusat dapodik – Di sekolah inklusi terdapat keragaman siswa dengan berbagai latar belakang, kemampuan, kemampuan, dan kapasitas; dari tingkat kemampuan dan kapasitas yang luar biasa hingga siswa berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, kami akan membahas mekanisme pelaksanaan sekolah inklusi di Indonesia sebagai berikut.
- Layanan pendidikan yang menuntut hubungan antar seluruh peserta didik dapat berlangsung secara interaktif untuk saling memahami, memahami, menerima perbedaan guna meningkatkan empati, simpati, toleransi, dan kerjasama di antara mereka.
- Anak berkebutuhan khusus tetap dapat belajar di kelas reguler dengan bekal guru pendamping selain guru kelas.
- Bagi siswa berkebutuhan khusus, pada waktu-waktu tertentu diberikan pelayanan di ruangan khusus, terpisah dari siswa normal, dan ditangani oleh guru/pendamping khusus dengan kegiatan pembelajaran di daerah yang sulit jika harus disampaikan bersama-sama dengan siswa normal.
- Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan terapi sesuai kebutuhan. Untuk itu, perlu bagi guru yang memiliki kompetensi sebanding dengan guru SLB untuk menjadi guru pendamping, atau sebagai guru tamu untuk mendampingi ABK.
Kemudian siswa dapat dikelompokkan menjadi:
- Pendidikan khusus untuk ABK tanpa disertai hambatan kognitif dan intelektual
- Pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus disertai dengan hambatan kognitif dan intelektual.
Untuk masing-masing kelompok tersebut dapat dipilih salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya. Model pembelajaran di sekolah inklusi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan siswa, baik normal maupun cacat (ABK):
- Model kelas reguler/inklusi penuh yaitu ABK yang tidak mengalami gangguan intelektual yang berarti dapat mengikuti pembelajaran di kelas biasa. Model pembelajaran ini dilakukan dengan cara mengumpulkan atau mencampurkan siswa ABK dengan siswa normal lainnya. Dalam situasi di mana jarak di antara mereka tidak terlalu jauh, mereka dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik di kelas inklusif. Di kelas seperti ini tidak ada perlakuan atau pelayanan khusus, tetapi semua siswa diperlakukan sama. Bahkan Sharoon E. Samaldino dkk, dalam penelitiannya menemukan bahwa siswa berkebutuhan khusus memiliki kesempatan yang cukup besar untuk belajar ketika disajikan situasi belajar yang terstruktur dan terencana.13 Siswa yang kurang memiliki penglihatan dan pendengaran, misalnya, dibantu dengan “alat bantu audio visual”.
- Model cluster, yaitu: ABK dikelompokkan secara terpisah. Dalam model pembelajaran ini semua siswa tanpa terkecuali belajar bersama, walaupun untuk ABK perlu didampingi oleh pendamping agar ABK dapat menerima pembelajaran seperti anak normal. Para asisten ini memberikan pelayanan khusus ketika ABK mengalami kesulitan dan hambatan dalam belajarnya.
- Model Pull Out, yaitu: ABK dipindahkan ke ruangan khusus untuk mendapatkan pelajaran tertentu dan didampingi oleh guru khusus. Tidak selamanya siswa ABK dapat belajar bersama sepanjang waktu dengan siswa normal. Pada bagian-bagian tertentu ada materi yang harus disampaikan khusus kepada siswa ABK karena adanya kesenjangan yang serius ketika mereka harus belajar secara bersamaan dengan semua siswa. Pada waktu-waktu tertentu siswa ABK ditarik dari kelas reguler untuk diberikan pelayanan khusus dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhannya. Setiap siswa yang memerlukan pelayanan khusus dibimbing oleh seorang asisten khusus sesuai dengan kebutuhannya.
- Model Cluster dan Pull Out, yang merupakan kombinasi dari model cluster dan pull out. Model pembelajaran ini dilaksanakan dengan cara pada waktu-waktu tertentu ABK dikelompokkan secara terpisah, tetapi masih dalam satu kelas reguler dengan pendamping khusus. Di lain waktu ABK ditempatkan di kelas/ruangan lain untuk diberikan pelayanan khusus dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhannya.
- Model kelas khusus, yaitu: sekolah menyediakan kelas khusus untuk anak berkebutuhan khusus, tetapi untuk kegiatan pembelajaran tertentu semua siswa digabungkan dengan kelas reguler. Kelas ini merupakan kelas yang hanya menampung siswa ABK secara penuh. Namun, pada waktu-waktu tertentu ABK diperbolehkan bergabung dengan siswa normal. Keunikan kelas semacam ini adalah kelas untuk ABK tidak jauh dari kelas reguler, bahkan dalam satu kompleks atau gedung yang sama dengan kelas normal. ABK dapat berinteraksi dengan siswa normal secara tidak langsung di dalam kelas dan berinteraksi secara langsung saat berada di luar kelas.
- Full Special Model, yaitu sekolah menyediakan kelas khusus untuk ABK. Pembelajaran ABK di kelas khusus penuh ini adalah siswa ABK belajar bersama dengan siswa ABK lainnya. Kelas seperti ini hanya menampung siswa ABK tanpa bercampur dengan siswa normal.
Lalu, seperti apa pengembangan kurikulum menurut perspektif sekolah inklusi?
Kurikulum dengan model kurikulum 2013, tujuan yang harus dicapai siswa dirumuskan dalam bentuk deskriptif dengan sasaran ranah afektif, kognitif dan psikomotorik.
Dalam setiap kegiatan pembelajaran ketiga ranah tersebut selalu menjadi sasaran pencapaian dan pengembangan. Untuk itu, domain tersebut dijabarkan ke dalam empat sasaran pencapaian kompetensi: religi, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Keempat kompetensi tersebut sebenarnya mewakili tiga domain dengan catatan bahwa kompetensi agama dan sosial mewakili domain afektif.
Kurikulum dengan model pembelajaran tertentu. Di sekolah inklusi dapat dikembangkan seperti pengembangan kurikulum di sekolah reguler, namun ada bagian-bagian tertentu yang dimodifikasi sesuai dengan kemampuan individu anak berkebutuhan khusus.
Dan ini memiliki keragaman kebutuhan siswa ABK terhadap layanan pendidikan dan target ABK lebih rendah dari target yang harus dicapai siswa normal.
Untuk waktu tertentu, siswa ditarik dari kelas reguler dan ditempatkan di kamar individu untuk bimbingan khusus.
Jadi, sekolah perlu menghargai pengembangan kurikulum yang lebih fleksibel untuk semua siswa.
Bagaimana skema penerimaan siswa berkebutuhan khusus?
Penerimaan siswa berkebutuhan khusus melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua siswa, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Di beberapa sekolah, siswa berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil penilaian dari rumah sakit dan atau surat keterangan dari psikolog.
Namun, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani siswa yang bersangkutan. Untuk kondisi di daerah tertentu, surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman mekanisme pelayanan belum sepenuhnya dipahami, apalagi ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas.
Secara grafis, mekanisme penerimaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi disajikan dalam skema berikut. Mekanisme penerimaan dijelaskan dalam skema berikut:
Gambar 1. Mekanisme skema penerimaan 1
Orang Tua -> Rumah Sakit -> Kantor Pendidikan -> Sekolah <- Rumah Sakit
Gambar 2. Mekanisme penerimaan skema 2
Rumah Sakit -> Kantor Pendidikan -> Sekolah <-Orang Tua, dan Rumah Sakit